Masa Kecil di Welahan bagian 1

0 Comments


Saya memang kelahiran Sragen, diujung jawa tengah bagian timur. Yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur, Kab. Ngawi. Dataran rendah yang mayoritas lahan disini adalah sebuah persawahan yang disaat panen dan menanamnya serentak. Saya tidak terlalu ingat masa kecil disini. Masa kecil saya lebih banyak dihabiskan dipedesaan  dataran tinggi yang berada di Wonosobo. Tempat kelahiran ibu saya.

Sekitar 30 menit dari kota Wonosobo, melewati jalan yang berbukit, berkelok, naik dengan turunan yang lumayan curam. Nama dusunnya Welahan, Kelurahan Wonoroto, Kec. Watumalang. Sebuah desa yang berada diperbukitan. Dibagian ujung barat dusun, dikelilingi lahan yang curam ke bawah. Penduduk sekitar lebih mengenal dukuh Guci, hanya di RT kami. Julukan Guci bukan tanpa sebab, riwayat nama tersebut karena ditempat ini, dulu ada sebuah kisah tentang adanya Guci yang dilindungi oleh ular besar mengelilingi Guci itu. Kisah yang terjadi pada jaman kerajaan ini sudah turun temurun sampai saat ini. Entah itu kisah nyata atau kisah fiktif. Dulu pernah ada monumen tentang kisah ini, sebuah guci yang dililit ular naga.

Sebagian masa kecil, saya habiskan bersama kakek dan nenek disini, saya tinggal bersamanya. Disebuah rumah yang sederhana yang masih beralaskan tanah berdinding dari papan kayu. Saat itu masih belum ada listrik yang mengaliri desa ini, kami menggunakan lentera yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya disetiap malam. Pada zaman itu belum ada sekolah TK atau semacam PAUD. Jadi kegiatan saya waktu itu lebih banyak bermain atau ikut ke ladang menemani nenek saya.

Pada saat itu, kegiatan ke ladang untuk menanam sayuran lebih banyak dilakukan oleh nenek. Kakek dimasa itu tenaganya sudah mulai lemah, jangankan untuk mencangkul, menuju ketempat dengan melewati bukit - bukit yang tinggi untuk menuju ke ladang pun sudah kurang mampu.

Kakek saya adalah seorang perangkat desa dengan jabatan Carik pada saat itu, Carik atau saat ini sebagian orang lebih mengenal dengan sebutan Sekretaris Desa merupakan salah satu jabatan struktural penting dalam pemerintahan desa.  

Kakek lah yang selalu membuatkan saya mainan - mainan tradisional pada saat itu, sesuai musim mainan apa yang sedang trend untuk anak - anak seusia saya. Kegiatan saya lebih banyak saya habiskan dengan nenek, pergi ke ladang untuk mencari kayu bakar, memetik sayuran untuk kebutuhan sehari - hari atau untuk dijual dipasar. Rumah kami tidak jauh dari pasar tradisional, pasar yang hanya dibuka sesuai hari pasaran jawa, legi & pon. Pasaran jawa sendiri ada lima hari, legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Selain legi & pon, pasar ada di desa yang lain.

Setiap nenek berjualan sayur, saya selalu ikut menemani. Kami biasa berangkat jam 5 pagi. Suhu udara didesa kami cukup dingin, karena berada disekitar 1000an MDPL. Dengan pakaian yang cukup tebal, kami menjajakan hasil panen sayuran yang kami petik kemarin sore. Tanah perbukitan didesa kami merupakan tanah yang gembur, sehingga sayuran -sayuran disini terlihat cukup segar dengan warna yang cerah. Selain itu, tanaman sayuran - sayuran disini sebagian besar adalah tanaman organik. Tanpa menggunakan pestisida, pupuk yang digunakan adalah dari kotoran hewan ternak. Hewan ternak disini juga sehat dan gemuk, pakan hijauan disini melimpah.

Kami berjualan biasanya sampai jam 8 atau 9 pagi. Atau sehabisnya dagangan kami. Tapi paling siang jam 9 pagi kami sudah berada dirumah. Kalaupun tidak habis, sisa dagangan kami jadikan masakan untuk dirumah. Lebih sering habis. Hasil uang jualan kami jajakan lauk atau jajanan untuk oleh - oleh kesukaan kakek. Nenek paling suka beli ikan tongkol. Saat itu, ikan tongkol merupakan lauk yang istimewa bagi kami. Disaat nenek sakit pun, makanan pertama yang diminta adalah ikan tongkol. Jika ingin masak ayam, tinggal tangkap saja dikandang. Kalau mau makan ikan, tinggal mancing saja dikolam yang berada dibelakang rumah. Ada ikan mujahir, ikan mas dan ikan nila. Masakan nenek adalah masakan yang paling enak, masakan apapun. Termasuk ikan tongkol itu, dimasak kuah santan. lalu dipadukan dengan oblok - oblok daun singkong atau daun labu siam, kadang juga daun talas yang dijadikan buntil. Buntil adalah masakan tradisional yang terbuat dari parutan kelapa yang dicampur dengan bumbu dan isian. Lalu dibungkus dengan daun talas. Ini adalah sayuran yang paling enak sampai saat ini. Biasanya makan buntil ini nasinya nasi jagung. Nasi jagung yang dibuat sendiri atau terkadang beli. Sama enaknya. Untuk jajanan yang paling khas disini adalah cenil, geblik, tempe kemul, tahu susur, serabi dan masih banyak. Tapi jajanan itu yang biasa kami beli. Tradisi disini, jika makan selalu bersama - sama. Entah itu satu rumah atau dengan tetangga sekitar. Kadang juga saling bertukar sayur dan lauk. Kita makan didepan tungku, sambil menghangatkan tubuh. Sambil bercerita.

Buntil yang terbuat dari daun talas

Walaupun desa kami belum dialiri listrik dari pemerintah, tapi sebenarnya disini sudah ada listrik yang diambil dengan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Air. Penduduk memanfaatkan aliran sungai dengan bergotong royong membangun teknologi sederhana ini secara mandiri. Saya pernah ikut dan menyaksikan secara langsung pembangunan dan perawatan pembangkit listrik ini. Dari atas bukit, sampai dibagian bawah bukit, ada banyak aliran sungai, dari aliran air dengan arus yang kecil sampai arus yang besar. Daerah aliran sungai ini selain dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, juga untuk mengairi sawah dan ladang. Juga untuk mengairi kolam - kolam ikan. Ikan - ikan disini pun terlihat sehat dan besar. Disetiap kolam juga ada bilik yang terbuat dari bambu atau atap seng. Yang digunakan untuk mandi atau buang air. Air yang digunakan untuk mandi mengalir langsung dari mata air diatas kolam. Airnya juga bisa langsung diminum. Jernih dan segar.

Malam bulan purnama adalah malam yang paling dinanti terutama bagi kami anak - anak. Malam yang dingin dengan hembusan angin dari pegunungan yang menusuk hingga ke tulang. Tapi kebersamaan telah menghangatkan suasana dimalam yang cerah disaat bulan purnama. Dimalam ini biasanya banyak orang berkumpul dihalaman rumah yang lapang. Orang - orang tua yang berkumpul bercerita entah apa yang diceritakan. Kami para anak - anak kecil asyik bermain dengan permainannya masing - masing. Ada yang bernyanyi nyanyian daerah  dingklik oglak aglik sambil mengitari api unggun yang sedang berkobar, ada yang bermain petak umpet, main congkak, lompat karet. Api unggun itu bukan hanya untuk menghangatkan tubuh kami yang kedinginan, tapi didalam api unggun ada singkong atau ubi yang sedang dibakar dibawah abu yang masih panas. Bulan purnama itu telah memberi penerangan dan keindahan, tidak ada cahaya yang lain selain cahaya sinar bulan purnama itu dan api unggun disetiap malam - malam kami. Walaupun sudah ada PLTA, tapi pembangkit itu sering tidak berfungsi dengan baik. Dan jika mengalami kerusakan, perbaikannya butuh waktu yang lama. Karena sebagian komponen harus dipesan dulu diperkotaan.

Permainan Dingklik Oglak Aglik

Inilah masa - masa kecil yang saya ingat. Seorang anak kecil yang berumur sekitar 5 tahunan, hidup dengan kakek dan nenek disebuah kampung yang masih alami, masih tradisional belum ada teknologi apapun yang masuk. Mungkin hanya suara radio dengan cerita  - cerita sayembara yang terkadang terdengar, atau cerita wayang kulitlah yang menjadi barang elektronik yang ada saat itu. Televisi hanya orang - orang kaya tertentu yang memilikinya. Disinilah saya menghabiskan sebagian masa kecil itu, kedua orang tua dan adik disaat itu sudah ada di Dieng, perusahaan budidaya jamur kancing terbesar saat itu. Seminggu, dua minggu kadang mereka berkunjung kesini. Sebelum pada akhirnya saya ikut juga bersama mereka di Dieng yang harus ditempuh 1,5 - 2 jam dari sini. Daerah dataran tinggi yang jauh lebih dingin dari tempat yang saya tinggali saat itu. 



You may also like

Tidak ada komentar: