Doc. visitcentraljava.com

Dulu ini merupakan perusahaan budidaya jamur kancing terbesar di Indonesia. Produknya pun pasar ekspor untuk negara USA, Timur Tengah, Eropa, dan Jepang. Ada yang sudah berupa olahan kaleng, ada yang masih bahan mentah. Segala jenis jamur memang akan tumbuh ditempat dengan udara yang lembab. Tapi jamur kancing tumbuh dan berkembang sempurna didataran tinggi dengan suhu yang dingin ini. Suhu udara disini 10 - 20 derajat celcius. Itu disiang hari. Dimalam hari bisa dibawah 10, bahkan dimusim kemarau suhu udara disini bisa membuat embun membeku.
PT Dieng Djaya adalah sebuah perusahaan jamur terbesar pada saat itu, berdiri sekitar tahun 1980an yang dimiliki oleh Ibu Tien Suharto. Salah satunya di dataran tinggi Dieng ini dan yang lainnya tersebar dibeberapa tempat di dua wilayah kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Kedua orang tua saya bekerja sebagai petani plasma yang di wilayah Banjarnegara. Dikarang Tengah Merdada, Kecamatan Batur. Yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Wonosobo. Batasnya di Dieng. Dikawasan Candi Arjuna, pintu masuk ke wisata Dieng dari wilayah Banjarnegara. Ditempat ini merupakan tempat pembudidayaan jamurnya. Untuk medianya ada diwilayah lain. Pun untuk hasil produksinya yang dikaleng itu, juga berada diwilayah lain. Masing - masing wilayah memiliki peran tersendiri yang berbeda - beda. Medianya berupa kompos yang terdiri dari berbagai macam bahan yang dipadatkan dalam sebuah plastik transparan berbentuk persegi 50 cm dengan tinggi sekitar 15 cm. Media itu dikirim dari tempat lain. Proses pembuatannya berada diwilayah lain. Sampai disini sudah menjadi media. Media ini nant diatasnya ditaburi media jamur yang dibungkus terpisah. Proses pembuatan media ini mungkin sama dengan pembuatan baglok jamur tiram yang pernah saya buat. Hanya bahannya saja yg mungkin berbeda.
Lokasi perusahaan ini dikelilingi oleh bukit. Seperti didalam kaldera. Setengah wilayahnya adalah sebuah telaga dengan airnya yg bening. Ada helipad dipinggir telaga itu. Sebagian bukit yang mengelilingi merupakan tanaman kentang yang dikelola oleh petani sekitar. Ada juga daun bawang, wortel dan sayur kol. Sebagiannya lagi hutan.. Sinar matahari disini memang panas. Tapi udara disini mengalahkan sengatan matahari ditengah siang hari. Kabut hampir setiap sore atau malam. Kabut yang tebal. Disaat kabut, jarak pandang hanya 5-10 meter saja. Setiap karyawan atau petani plasma yang bekerja disini mendapat 1 unit rumah dengan 2 kamar tidur sebagai tempat tinggal. Setiap rumah ada 3 set rumah jamur yang berbentuk setengah lingkaran memanjang dengan atap dari terpal yang tebal disebelah rumah masing - masing. Dalam set itu ada rak - rak bertingkat yang digunakan untuk tempat media jamur. Diatas rak dibagian tengah ruangan ada sebuah blower angin yang dipasang plastik putih memanjang melingkar. Plastik ini seperti selang dengan diameter 50an cm. Dibagian bawah ada lubang - lubang dengan diameter 10an cm untuk jalan keluar angin dari blower itu. Saya belum paham fungsi blower pada saat itu. Mungkin untuk menghangatkan suhu ruangan. Karena angin yang keluar hangat.

Set, tempat tumbuh jamur (Doc. Google)

Proses panen jamur ini tidak boleh terlambat. Jika terlambat, maka jamur - jamur ini akan mekar dan menjadi sampah. Biasanya petik jamur ini dilakukan tengah malam, jam 23:00 malam sampai jam 03:00 pagi hari. Media - media jamur ini akan segera diganti setelah beberapa kali panen. Saya juga belum paham tentang hal  ini. Saat itu saya masih terlalu kecil untuk mempelajari hal - hal seperti itu. Yang saya ingat disini adalah masa kecil tentang bermain, tempat yang indah dengan udara yang dingin.
Seingat saya, semenjak tinggal disini saya sudah mulai sekolah. Sekolah TK yang tidak jauh dari tempat kami tinggal. Kalau tidak salah disini hanya ada sekolah TK saja. Disini ada 4 unit atau wilayah. Masing - masing unit terdiri dari puluhan rumah yang sampingnya ada 3 set itu. Saya tinggal dirumah unit 3 no. 73. Rata - rata yang bekerja disini adalah keluarga muda. Keluarga baru atau keluarga yang anak - anaknya masih seusia saya. Karena anak - anak setelah lulus TK disini harus sekolah diluar kawasan ini. Dan biasanya mereka sekolah dikampung masing -masing. Jadi, memang anak - anak disini adanya yang seusia saya atau dibawahnya.
Jalanan disini seperti diperkotaan besar. Besar dan halus. Terawat. Ada taman bermain untuk anak - anak. Ada juga arena olah raga. Saya sering bermain ditempat bermain itu. Sepulang sekolah. Berkumpul dengan teman - teman yang lain tanpa membuat janji sebelumnya. Kami, anak - anak kecil saat itu juga sering mendaki bukit yang mengelilingi tempat kami tinggal ini. Diam - diam. Tanpa sepengetahuan orang tua kami. Jika ketahuan, kami hanya dapat teguran lisan saja. Bukitnya tidak terlalu tinggi. Satu sampai dua jam saja sudah bisa sampai puncaknya. Melewati lahan pertanian. Lalu hutan dengan pohon - pohon yang biasa dijadikan bonsai. Pohon santigi. Pohon khas dataran tinggi. Yang biasa kita temukan jika mendaki gunung. Gunung apapun. Sebelum puncak, selain bunga edelweis, kita pasti akan melewati pohon santigi ini. Yang buahnya juga enak dimakan. Seperti buah ceri. tapi lebih kecil. Berwarna hitam kalau sudah matang. Rasanya manis.
Pernah kami seharian menjelajahi bukit disini, mendaki keluar kawasan perusahaan. Dibalik bukit adalah tempat wisata dieng yang saat ini banyak pengunjungnya itu. Telaga warna, kawah sikidang, dan candi - candi peninggalan kerajaan Hindu & Budha. Bagi anak - anak sekecil kami, keluar sejauh itu harusnya sudah melewati batas. Terlalu jauh. Kami pergi tanpa rencana dan diam - diam. Tidak ada terpikirkan akan tersesat atau hal - hal buruk yang mungkin terjadi. Ini bukit yang cukup luas. Berupa hutan yang lebat walaupun tidak ada pohon - pohon yang tinggi dan besar. Kemungkinan tersesat sangat besar. Kami pun pergi tanpa bekal apapun, makanan ataupun minuman. Dalam perjalananpun kami tidak menemui seorang sama sekali. Kami menemui orang setelah berada dibalik bukit itu. Memang ada sebuah pemukiman. Ada juga sebuah perusahaan yang masih ada hubungannya dengan perusahaan kami tempati. Kami pernah sampai di kawah sikidang. Kawah - kawah disini mengeluarkan bau belerang menyengat. Bau yang tidak enak. Sebenarnya ini kawasan berbahaya. Tapi kami belum paham itu. Ada banyak kawah disini. Tapi yang kami kenal hanya kawah sikidang. Selain kawahnya yang mengeluarkan asap panasnya, yang dibawahnya ada letupan - letupan seperti air mendidih, kawah - kawah yang ada disini terkadang ada yang  mengeluarkan gas beracun. Sampai saat ini setidaknya ada delapan kawah yang masih aktif disini. Kawah sinila adalah salah satu kawah yang berpotensi mengeluarkan gas beracun itu. Gas beracun itu berupa CO2. Tidak berwarna dan tidak berbau. Kawah sinila adalah kawah yang pernah mengeluarkan gas beracun yang mengakibatkan ratusan korban pada tahun 1979. Berdasarkan berita surat kabar yang beredar saat itu, kawah sinila saat itu meletus dan mengeluarkan gas baracun dengan menewaskan korban kurang lebih 146 jiwa. Saat ini kawah sinila telah berubah menjadi telaga yang berdiameter kurang lebih 100 m.
Didataran tinggi Dieng memang masih banyak mengandung gas - gas beracun yang mematikan itu. Pernah kami para karyawan dan penduduk sekitar harus mengungsi jauh dari dataran ini karena ada kebocoran gas. Pernah juga kami mengungsi karena kebakaran hutan di dataran tinggi ini. Apii berkobar dibanyak bukit, bahkan sampi ke jalan raya. Dataran Dieng yang saat itu masih berupa hutan disepanjang wilayahnya.
Dieng saat itu tidak seramai dan seterkenal saat ini. Lebih banyak turis mancanegara daripada wisatawan lokal yang berkunjung ke tempat ini. Dan bangunannya pun tidak sepadat saat ini. Belum ada penginapan ataupun homestay yang saat ini mulai menjamur. Pun warung - warungnya, yang saat ini hampir sepanjang adalah warung makan atau toko oleh - oleh khas Dieng.


Saya memang kelahiran Sragen, diujung jawa tengah bagian timur. Yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur, Kab. Ngawi. Dataran rendah yang mayoritas lahan disini adalah sebuah persawahan yang disaat panen dan menanamnya serentak. Saya tidak terlalu ingat masa kecil disini. Masa kecil saya lebih banyak dihabiskan dipedesaan  dataran tinggi yang berada di Wonosobo. Tempat kelahiran ibu saya.

Sekitar 30 menit dari kota Wonosobo, melewati jalan yang berbukit, berkelok, naik dengan turunan yang lumayan curam. Nama dusunnya Welahan, Kelurahan Wonoroto, Kec. Watumalang. Sebuah desa yang berada diperbukitan. Dibagian ujung barat dusun, dikelilingi lahan yang curam ke bawah. Penduduk sekitar lebih mengenal dukuh Guci, hanya di RT kami. Julukan Guci bukan tanpa sebab, riwayat nama tersebut karena ditempat ini, dulu ada sebuah kisah tentang adanya Guci yang dilindungi oleh ular besar mengelilingi Guci itu. Kisah yang terjadi pada jaman kerajaan ini sudah turun temurun sampai saat ini. Entah itu kisah nyata atau kisah fiktif. Dulu pernah ada monumen tentang kisah ini, sebuah guci yang dililit ular naga.

Sebagian masa kecil, saya habiskan bersama kakek dan nenek disini, saya tinggal bersamanya. Disebuah rumah yang sederhana yang masih beralaskan tanah berdinding dari papan kayu. Saat itu masih belum ada listrik yang mengaliri desa ini, kami menggunakan lentera yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya disetiap malam. Pada zaman itu belum ada sekolah TK atau semacam PAUD. Jadi kegiatan saya waktu itu lebih banyak bermain atau ikut ke ladang menemani nenek saya.

Pada saat itu, kegiatan ke ladang untuk menanam sayuran lebih banyak dilakukan oleh nenek. Kakek dimasa itu tenaganya sudah mulai lemah, jangankan untuk mencangkul, menuju ketempat dengan melewati bukit - bukit yang tinggi untuk menuju ke ladang pun sudah kurang mampu.

Kakek saya adalah seorang perangkat desa dengan jabatan Carik pada saat itu, Carik atau saat ini sebagian orang lebih mengenal dengan sebutan Sekretaris Desa merupakan salah satu jabatan struktural penting dalam pemerintahan desa.  

Kakek lah yang selalu membuatkan saya mainan - mainan tradisional pada saat itu, sesuai musim mainan apa yang sedang trend untuk anak - anak seusia saya. Kegiatan saya lebih banyak saya habiskan dengan nenek, pergi ke ladang untuk mencari kayu bakar, memetik sayuran untuk kebutuhan sehari - hari atau untuk dijual dipasar. Rumah kami tidak jauh dari pasar tradisional, pasar yang hanya dibuka sesuai hari pasaran jawa, legi & pon. Pasaran jawa sendiri ada lima hari, legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Selain legi & pon, pasar ada di desa yang lain.

Setiap nenek berjualan sayur, saya selalu ikut menemani. Kami biasa berangkat jam 5 pagi. Suhu udara didesa kami cukup dingin, karena berada disekitar 1000an MDPL. Dengan pakaian yang cukup tebal, kami menjajakan hasil panen sayuran yang kami petik kemarin sore. Tanah perbukitan didesa kami merupakan tanah yang gembur, sehingga sayuran -sayuran disini terlihat cukup segar dengan warna yang cerah. Selain itu, tanaman sayuran - sayuran disini sebagian besar adalah tanaman organik. Tanpa menggunakan pestisida, pupuk yang digunakan adalah dari kotoran hewan ternak. Hewan ternak disini juga sehat dan gemuk, pakan hijauan disini melimpah.

Kami berjualan biasanya sampai jam 8 atau 9 pagi. Atau sehabisnya dagangan kami. Tapi paling siang jam 9 pagi kami sudah berada dirumah. Kalaupun tidak habis, sisa dagangan kami jadikan masakan untuk dirumah. Lebih sering habis. Hasil uang jualan kami jajakan lauk atau jajanan untuk oleh - oleh kesukaan kakek. Nenek paling suka beli ikan tongkol. Saat itu, ikan tongkol merupakan lauk yang istimewa bagi kami. Disaat nenek sakit pun, makanan pertama yang diminta adalah ikan tongkol. Jika ingin masak ayam, tinggal tangkap saja dikandang. Kalau mau makan ikan, tinggal mancing saja dikolam yang berada dibelakang rumah. Ada ikan mujahir, ikan mas dan ikan nila. Masakan nenek adalah masakan yang paling enak, masakan apapun. Termasuk ikan tongkol itu, dimasak kuah santan. lalu dipadukan dengan oblok - oblok daun singkong atau daun labu siam, kadang juga daun talas yang dijadikan buntil. Buntil adalah masakan tradisional yang terbuat dari parutan kelapa yang dicampur dengan bumbu dan isian. Lalu dibungkus dengan daun talas. Ini adalah sayuran yang paling enak sampai saat ini. Biasanya makan buntil ini nasinya nasi jagung. Nasi jagung yang dibuat sendiri atau terkadang beli. Sama enaknya. Untuk jajanan yang paling khas disini adalah cenil, geblik, tempe kemul, tahu susur, serabi dan masih banyak. Tapi jajanan itu yang biasa kami beli. Tradisi disini, jika makan selalu bersama - sama. Entah itu satu rumah atau dengan tetangga sekitar. Kadang juga saling bertukar sayur dan lauk. Kita makan didepan tungku, sambil menghangatkan tubuh. Sambil bercerita.

Buntil yang terbuat dari daun talas

Walaupun desa kami belum dialiri listrik dari pemerintah, tapi sebenarnya disini sudah ada listrik yang diambil dengan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Air. Penduduk memanfaatkan aliran sungai dengan bergotong royong membangun teknologi sederhana ini secara mandiri. Saya pernah ikut dan menyaksikan secara langsung pembangunan dan perawatan pembangkit listrik ini. Dari atas bukit, sampai dibagian bawah bukit, ada banyak aliran sungai, dari aliran air dengan arus yang kecil sampai arus yang besar. Daerah aliran sungai ini selain dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, juga untuk mengairi sawah dan ladang. Juga untuk mengairi kolam - kolam ikan. Ikan - ikan disini pun terlihat sehat dan besar. Disetiap kolam juga ada bilik yang terbuat dari bambu atau atap seng. Yang digunakan untuk mandi atau buang air. Air yang digunakan untuk mandi mengalir langsung dari mata air diatas kolam. Airnya juga bisa langsung diminum. Jernih dan segar.

Malam bulan purnama adalah malam yang paling dinanti terutama bagi kami anak - anak. Malam yang dingin dengan hembusan angin dari pegunungan yang menusuk hingga ke tulang. Tapi kebersamaan telah menghangatkan suasana dimalam yang cerah disaat bulan purnama. Dimalam ini biasanya banyak orang berkumpul dihalaman rumah yang lapang. Orang - orang tua yang berkumpul bercerita entah apa yang diceritakan. Kami para anak - anak kecil asyik bermain dengan permainannya masing - masing. Ada yang bernyanyi nyanyian daerah  dingklik oglak aglik sambil mengitari api unggun yang sedang berkobar, ada yang bermain petak umpet, main congkak, lompat karet. Api unggun itu bukan hanya untuk menghangatkan tubuh kami yang kedinginan, tapi didalam api unggun ada singkong atau ubi yang sedang dibakar dibawah abu yang masih panas. Bulan purnama itu telah memberi penerangan dan keindahan, tidak ada cahaya yang lain selain cahaya sinar bulan purnama itu dan api unggun disetiap malam - malam kami. Walaupun sudah ada PLTA, tapi pembangkit itu sering tidak berfungsi dengan baik. Dan jika mengalami kerusakan, perbaikannya butuh waktu yang lama. Karena sebagian komponen harus dipesan dulu diperkotaan.

Permainan Dingklik Oglak Aglik

Inilah masa - masa kecil yang saya ingat. Seorang anak kecil yang berumur sekitar 5 tahunan, hidup dengan kakek dan nenek disebuah kampung yang masih alami, masih tradisional belum ada teknologi apapun yang masuk. Mungkin hanya suara radio dengan cerita  - cerita sayembara yang terkadang terdengar, atau cerita wayang kulitlah yang menjadi barang elektronik yang ada saat itu. Televisi hanya orang - orang kaya tertentu yang memilikinya. Disinilah saya menghabiskan sebagian masa kecil itu, kedua orang tua dan adik disaat itu sudah ada di Dieng, perusahaan budidaya jamur kancing terbesar saat itu. Seminggu, dua minggu kadang mereka berkunjung kesini. Sebelum pada akhirnya saya ikut juga bersama mereka di Dieng yang harus ditempuh 1,5 - 2 jam dari sini. Daerah dataran tinggi yang jauh lebih dingin dari tempat yang saya tinggali saat itu. 

 


Ini bukan kerbau yang dibukit merese itu. Yang pernah saya ajak foto bersama itu. Ini masih tentang kerbau, tapi bukan di Lombok lagi. Masih di Nusa Tenggara Barat, tapi dibagian pulau yang paling timur dari provinsi ini. Di pulau Sumbawa.

Kerbau memang suka berkubang di lumpur. Itu karena kerbau memiliki suhu panas yang tinggi pada tubuh besarnya. Warna tubuh yang gelap itu juga yang menjadikan tubuh kerbau mudah menyerap panas dari lingkungannya.

Suhu udara disini memang panas. Tapi tidak gersang. Disekitaran tempat berkubang kerbau ini banyak pepohonan rindang yang tidak begitu tinggi. Kubangan ini berada ditengah padang savana. Tidak jauh dari kubangan ini juga ada laut. Jadi padang savana ini berujung dibibir pantai. Savana ini sangat luas.

Nama savana ini Doro Ncanga. Di Sori Tatanga, Kec. Pekat. Kab. Dompu, NTB. Di kaki Gunung Tambora. Gunung Tambora yang memiliki kaldera yang sangat luas itu. 

Padang Savana ini dijadikan tempat untuk menggembalakan hewan ternak oleh warga sekitar. Selain kerbau yang suka berkubang dilumpur itu, di savana ini juga banyak sapi dan kuda. 


Kuda - kuda itu dilepas liarkan di padang savana yang sedang menghijau ini. Mereka akan digiring ke kandang disaat matahari akan terbenam. Tapi ada juga yang dibiarkan. 

Sumbawa memang terkenal dengan kudanya. Kuda Sumbawa. Kuda jenis poni yang memiliki badan yang kekar, gesit dan atletis. Biasa digunakan untuk mengangkut beban, alat transportasi dan berkuda. Tapi saya lebih familiar dengan susu kudanya. Susu kuda liar Sumbawa.


Saya berada di savana ini pagi menjelang siang. Tapi lihatlah sapi - sapi itu. Mereka sedang berteduh. Bukan dari hujan, tapi dari teriknya matahari yang menyengat. Mereka tidak suka berkubang dilumpur seperti kerbau - kerbau yang itu. Mereka lebih suka berteduh dibawah pohon. Sambil menikmati rerumputan.

Walaupun cuaca disini panas, tapi udara disini sangat sejuk. Hembusan angin dari pantai, dan semilir angin dari gunung Tambora. Paduan antara pantai dan gunung yang menjadikan savana ini bukan hanya tentang keindahan. Tapi kesejukan yang mendamaikan. 

Kerbaunya. Yang bukan hanya berkubang di lumpur. Ada sebagian juga yang memilih berendam di pantai. Kuda - kudanya. Yang sesekali saling berlarian, berkejar - kejaran. Dan Sapinya. Yang suka berteduh dibawah pohon itu.



Mereka yang mengajak saya berkunjung disavana yang sedang menghijau ini. Bukan hanya tentang Gunung Tamboranya.