Ini bukan kerbau yang dibukit merese itu. Yang pernah saya ajak foto bersama itu. Ini masih tentang kerbau, tapi bukan di Lombok lagi. Masih di Nusa Tenggara Barat, tapi dibagian pulau yang paling timur dari provinsi ini. Di pulau Sumbawa.

Kerbau memang suka berkubang di lumpur. Itu karena kerbau memiliki suhu panas yang tinggi pada tubuh besarnya. Warna tubuh yang gelap itu juga yang menjadikan tubuh kerbau mudah menyerap panas dari lingkungannya.

Suhu udara disini memang panas. Tapi tidak gersang. Disekitaran tempat berkubang kerbau ini banyak pepohonan rindang yang tidak begitu tinggi. Kubangan ini berada ditengah padang savana. Tidak jauh dari kubangan ini juga ada laut. Jadi padang savana ini berujung dibibir pantai. Savana ini sangat luas.

Nama savana ini Doro Ncanga. Di Sori Tatanga, Kec. Pekat. Kab. Dompu, NTB. Di kaki Gunung Tambora. Gunung Tambora yang memiliki kaldera yang sangat luas itu. 

Padang Savana ini dijadikan tempat untuk menggembalakan hewan ternak oleh warga sekitar. Selain kerbau yang suka berkubang dilumpur itu, di savana ini juga banyak sapi dan kuda. 


Kuda - kuda itu dilepas liarkan di padang savana yang sedang menghijau ini. Mereka akan digiring ke kandang disaat matahari akan terbenam. Tapi ada juga yang dibiarkan. 

Sumbawa memang terkenal dengan kudanya. Kuda Sumbawa. Kuda jenis poni yang memiliki badan yang kekar, gesit dan atletis. Biasa digunakan untuk mengangkut beban, alat transportasi dan berkuda. Tapi saya lebih familiar dengan susu kudanya. Susu kuda liar Sumbawa.


Saya berada di savana ini pagi menjelang siang. Tapi lihatlah sapi - sapi itu. Mereka sedang berteduh. Bukan dari hujan, tapi dari teriknya matahari yang menyengat. Mereka tidak suka berkubang dilumpur seperti kerbau - kerbau yang itu. Mereka lebih suka berteduh dibawah pohon. Sambil menikmati rerumputan.

Walaupun cuaca disini panas, tapi udara disini sangat sejuk. Hembusan angin dari pantai, dan semilir angin dari gunung Tambora. Paduan antara pantai dan gunung yang menjadikan savana ini bukan hanya tentang keindahan. Tapi kesejukan yang mendamaikan. 

Kerbaunya. Yang bukan hanya berkubang di lumpur. Ada sebagian juga yang memilih berendam di pantai. Kuda - kudanya. Yang sesekali saling berlarian, berkejar - kejaran. Dan Sapinya. Yang suka berteduh dibawah pohon itu.



Mereka yang mengajak saya berkunjung disavana yang sedang menghijau ini. Bukan hanya tentang Gunung Tamboranya.

 



Namanya Merese, dari kata merisik yang berarti gundul. Dikatakan gundul karena memang bukit ini hanya rerumputan tanpa adanya satupun pohon yang berdiri dibukit ini.

Inilah bukit merese yang tempatnya ada diatas pantai, yang disekililingnya ada pantai pasir putih. Bukit ini seperti savana, dengan rumputnya yang hijau disaat musim hujan, dan akan berubah coklat disaat musim kemarau.

Bukit merese terletak di jalan Kuta Lombok, Pujut, Lombok Tengah, NTB. Dikawasan Ekonomi Khusus, Mandalika. Yang dekat sirkuit Internasional Pertamina Mandalika itu, tempat balapan MotoGP.

Akses menuju bukit ini mudah, untuk kendaraan roda dua ataupun empat jalannya sudah seperti sirkuit yang ada disebelah bukit ini. Pun untuk mencapai puncak bukit ini juga tidak begitu sulit, karena tidak begitu tinggi juga. Dari anak kecil, sampai kakek nenek bisa dengan mudah untuk menuju disekitaran bukit ini.

Pemandangan dari atas bukit ini terlihat sangat bagus, dari hamparan pantai pasir putih dipantai Aan, rerumputan savana yang hijau, gradasi warna laut yang hijau kebiruan dan bebatuan hitam seperti karang di sela - sela perbukitan ini.

Tapi bukan semua keindahan itu yang membawa saya untuk berkunjung ke tempat yang menjadi salah satu spot terbaik untuk menikmati sunrise dan sunset ini. Bukan juga karena sirkuitnya yang telah dikenal oleh belahan dunia karena ajang MotoGpnya waktu itu.



Saya lebih tertarik dengan kawanan kerbau yang tubuhnya penuh lumpur ini. Inilah yang menjadi tujuan saya mengunjungi bukit merese ini. Kerbaunya. Ada juga sapinya. Tapi lebih dominan kerbau. Saya suka keduanya. Kerbaunya dan sapinya. Lebih tertariknya keduanya ada di padang savana yang hijau disaat musim hujan ini.

Sore yang menuju senja, sekawanan kerbau dan sapi berjalan beriringan dibukit ini. Sesekali mereka berhenti untuk menyantap rerumputan, saya hampiri, dan saya ajak foto bersama. Lihatlah satu  kerbau itu, berpose seakan tau kalau sedang diajak selfie. 

Mereka tidak takut terhadap pengunjung disitu, mengabaikan, seolah kami adalah bagian darinya yang sedang menikmati rerumputan ini. 

Kawanan kerbau dan sapi ini akan kembali ke kandang yang berada dibawah bukit ini. Seakan tau, waktu untuk kembali kerumah. Tanpa digiring, perlahan mereka berjalan menuju tempat istirahatnya. 

Mungkin senja memiliki bahasa tersendiri yang disampaikan untuk kerbau dan sapi ini. Yang menggiring sekawanan tubuh besar yang dipenuhi lumpur ini, untuk kembali. Waktunya istirahat.


Senja dibukit ini memang indah, udaranya sejuk. Menenangkan siapapun yang menikmatinya, pun para sekawanan binatang herbivora ini. Ketenangan yang mengajak kita untuk pulang, untuk istirahat, untuk bermunajat kepada sang Pencipta. 



Menikmati sejuknya udara di Gunung Prau

Saya pernah tinggal disini. Di Wonosobo.
Ibu saya memang dari sini. Dari Kecamatan Watumalang. Di Desa Welahan. Disaat kecil saya tinggal bersama kakek dan nenek. Sementara orang tua menjadi karwayan di perusahaan jamur terbesar saat itu. PT. Dieng Djaya.

Perusahaan itu berada di Kec. Batur. Banjarnegara. Perbatasan Wonosobo. Letaknya dikelilingi oleh perbukitan. Seperti didalam kaldera. Ada telaganya. Namanya Telaga Merdada. Ada dua Helipad. Tempat mendarat helicopter. Eyang BJ. Habibie pernah mendarat disini.

TK saya disini. Dan memang hanya ada sekolah TK disini. Untuk SD, berada diluar kawasan perusahaan ini.

Ada tiga unit disini. Satu unit terdiri dari puluhan rumah. Satu rumah untuk satu keluarga. Ada dua kamar. Setiap rumah disediakan 3 set (tempat budidaya jamur). Didalam set itu ada puluhan rak untuk media jamur. Jamurnya jenis jamur kancing. Produksinya untuk kebutuhan ekspor.

Keluarga saya tinggal di unit dua. No. 73. Tidak jauh dari sekolah TK saya itu. 

Enam tahun kami tinggal disini. Di tempat yang suhu udaranya sangat dingin. Tempat yang memiliki pesona alam yang indah. 

Sebelum akhirnya kami semua harus pergi meninggalkannya. Tahun 1997. Disaat krisis moneter mulai melanda Indonesia.

Kini tempat itu telah menjadi cerita. 

Gunung Prau mengingatkan saya tentang masa kecil disini. Dibalik kawah Sikidang. Dibalik bukit itu. Tempat saya menghabiskan masa kanak - kanak di perbukitannya. Di Telaganya.

Dieng telah menjadi tujuan wisata dari berbagai kota. Akhir pekan tempat ini selalu dipadati oleh pengunjung. Terutama bagi para pendaki.

Gunung Prau telah menjadi daya tarik tersendiri. Selain waktu tempuhnya yang relatif singkat untuk mencapai puncaknya, gunung ini adalah tempat yang sangat indah untuk melihat Golden Sunrise di balik Gunung Sindoro Sumbing itu.

Dieng saat ini tidak lagi sepi. Sumber daya alamnya memang telah memberi penghidupan. Dengan sayurannya. Dengan kentang terbaiknya. Tapi kini keindahan alamnya telah memberi lebih hidup lagi bagi penghuninya.